Minggu, 23 September 2018 jam tangan menunjukkan pukul 9.30 WIB, ruas jalan Desa Payaman terasa berbeda. Pesepada motor berjalan pelan ke barat, beriringan tanpa putus menyusuri sepanjang jalan yang diapit sawah di sisi kanan dan kirinya ini. Biasanya jalan ini hanya dilalui warga setempat yang berangkat atau pulang ke sawah, pelajar yang pulang pergi menimba ilmu atau orang - orang yang akan berangkat ke Pasar Desa Bancer untuk membeli kebutuhan hidupnya.

Tapi kali ini bukan mereka.  Pesepeda motor itu bahkan terasa asing bagi warga Desa Payaman. Bukan khawatir, penduduk Desa Payaman justru bangga. Karena tamu-tamu ini adalah mereka yang akan menghabiskan akhir minggunya di "Mini Niagara" Kracakan. Kebetulan hari itu memang akan digelar rangkaian wisata sehari, yang diawali Pentas Seni Reog Jaranan Jonegaran pada pagi hari,  dan dilanjutkan dengan "Kracakan Kite Festival 2018" hingga sore hari.

Kami mencoba membuntuti pesepeda motor itu sampai di pintu masuk parkir. Suasana keluar masuk sepeda motor di area parkir terasa sempit.  Jalan desa yang pada hari biasa cukup lebar seakan "mengecil " untuk sekadar menampung lalu lalang wisatawan lokal dengan warga masyarakat setempat.

Memasuki area Kracakan suasa semakin riuh. Kracakan yang biasanya mampu menampung pengunjung untuk sekadar melepas penat, hari itu terasa sesak. Puncaknya terjadi pada tengah hari saat pentas reog berlangsung.

Usai pentas reog, suguhan bergeser ke lapangan desa,  tempat digelarnya even "Kracakan Kite Festival 2018", sebuah acara yang sesungguhnya berawal dari ide 'gila'. Bahwa pentas layang layang adalah sebuah pentas yang mendunia memang iya.  Di tingkat internasional ada IKF (Internasional Kite Festifal)  dan masih banyak lagi.  Di even nasional ada Surabaya Kite Festival,  Kuta Kite Festifal,  Parangtritis Kite Festival dan lain lain.  Semuanya even di atas terjadi dan digelar di Kawasan Pantai.

"Kracakan Kite Festival" ? Tidak. Payaman Ngraho tidak berada di Kawasan pantai.  Desa itu hanya punya destinasi lokal berupa air terjun mini sebagai akibat adanya patahan bebatuan di dasar Sungai Bengawan Solo.  Maka hanya sedikit ide 'gila' saja yang membuat mereka berani menggelar event festival layang-layang.

Jika kegilaan-terkadang-memunculkan hal-hal baru yang bermanfaat,  maka sesungguhnya event yang hanya bermodalkan hamparan sawah pasca panen palawija dan sedikit angin pada kisaran bulan Agustus-Oktober ini,  di dasarkan pada potensi destinasi yang dimiliki Payaman yang belum diangkat di Permukaan. Yang apabila mampu diolah-dikemas-disajikan dan memancing hasrat berwisata,  maka akan dapat menjadikan Payaman (dengan Kracakannya) banyak hal. Potensi dimaksud, setidaknya ada 2 (dua)  hal.  Pertama,  Payaman ternyata menjadi titik penting dari sejarah pergolakan Kerajaan Demak pada episode pertempuran Danang Sutawijaya dengan Arya Penangsang. Beredar luas di masyarakat Payaman bahwa Gagak Rimang, kuda perang Sang Arya Penangsang adalah hadiah dari warga 'kidul nggawan',  dalam hal ini adalah penduduk Desa Payaman.  Menurut kisah tutur,  saat kuda kecil diberikan,  ditolak oleh Arya Penangsang karena kurus dan sakit sakitan. Tetapi Arya Penangsang luluh dan menerima pemberian kuda kecil itu setelah melihat hewan itu sudah ada di istalnya saat Arya Penangsang tiba di Jipang. Selain kisah Gagak Rimang,  Payaman masih menyimpan 'situs keweran/ tempat penggembalaan' Gagak Rimang.  Dan tempat itu sampai saat ini masih ada dan diyakini masyarakat.

Kedua,  temuan temuan fosil hewan purba dan "barangkali" manusia purba dari bantaran kali tinggang, sesungguhnya mengundang hasrat skeptisisme kaum akademisi dan arkeolog. Dengan demikian,  semakin di dalami,  Payaman tidak sekedar Kracakan,  tetapi lebih besar dari itu.

Pertanyaannya kemudian : akankah Kracakan Kite Festival hanya akan digunakan untuk menelusuri lorong masa lalu?

Tentu tidak.  Cerdik pandai pernah berujar Perencanaan adalah membangun proyeksi masa depan dengan menggunakan 'value,  ideas and norm' masa lalu sebagai pondasi dasar dan titik nol kekinian sebagai titik tumpu awal. Jika kita menggunakan konsep itu maka sesungguhnya Payaman potensial dijadikan titik awal pijak menggagas perkembangan kawasan, pertumbuhan ekonomi kawasan sekitar dan pembangkitan ekonomi berbasis akar rumput. Dalam hal ini Kracakan Kite Festival adalah event penguat yang secara alamiah kita 'temukan' tanpa sengaja.

Sekadar gambaran saat digelar even itu,  23 September 2018, terdapat lompatan pendapatan parkir mencapai 4 (empat) kali lipat dari hari biasa di akhir minggu.  Sektor lain,  salah satu pedagang makan minum dilokasi mendapatkan penghasilan hampir 2. 5 juta dalam sehari.  Sebuah capaian yang menggembirakan bagi rerata pendapatan di Payaman.  Dan masih banyak lagi testimoni yang didapatkan team survey NETC (Ngraho Education and Tourism Center). Dengan begitu even ini cukup mampu mendorong perputaran uang di titik destinasi.

Oleh karena itu,  sebenarnya jika akan diproyeksikan ke depan,  maka sektor sektor produksi dan jasa yang berbasis masyarakat akar rumput perlu dibangkitkan,  tidak hanya di Desa Payaman tetapi lebih luas pada desa desa yang menjadi titik sasaran garap,  agar kegiatan "Kracakan Kite Festival" tidak hanya berhenti pada euforia menghasilkan 'iconic event' destinasi dan memutar roda perekonomian dalam sehari itu,  tetapi bagaimana menghadirkan sebuah konsep pengembangan destinasi sekaligus kawasan sekitar.

Kalau pada titik destinasi,  sudah ada beberapa gagasan yang akan secara bertahap diwujudkan.  Bahkan sebagian item sudah di selesaikan. Tetapi untuk kawasan,  masih memerlukan kerja keras semua pihak. Beberapa diantaranya, memang,  sudah dimulai. Sebagian yang lain,  semoga dapat direalisasikan akhir tahun ini . Satu catatan pentingnya adalah bahwa konsep Penguatan Lembaga dan Peningkatan Kualitas Sumberdaya pelaku dan masyarakat sekitar bukanlah sebuah pekerjaan ringan. Dari beberapa titik yang sudah disentuh,  sebagian besar berhadapan dengan kendala sumberdaya manusia.

Tekanan yang paling kuat dari aspek sumberdaya ini sesungguhnya bukan sekedar mengubah dari tidak bisa menjadi bisa secara teknis tetapi bagaimana tersedia jumlah manusia yang cukup menguasai konsep umum pasaran yang faham manajemen sekaligus menciptakan peluang.  Bukan titik nol saat ini,  yakni bisa membuat dan menunggu pengguna / pembeli.

Gambaran umumnya adalah ketika ribuan orang (luar) masuk ke  Kracakan saat festival,  cukupkah tersedia keanekaragaman barang dan jasa yang diperlukan dan atau memancing minat mereka?  Mari kita jawab belum.  Bukan tidak. Hanya belum.  Agar nanti kita tidak perlu lagi menyaksikan komentar salah satu pegiat agropolitan, bahwa diperlukan aktitifitas berdarah darah untuk dapat menggugah kesadaran berekonomi pada masyarakat kawasan destinasi lokal. Kalaupun berdarah-darah itu kita analogkan dengan proses kelahiran,  maka sebenarnya membangun kawasan yang ekonominya bangkit,  masyarakatnya berdaya,  tata kelola yang bagus dan dengan itu semua memantik peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang harus kita garis bawahi bukan hanya berhenti diproses melahirkan yang nota bene berdarah darah itu.  Sekali lagi bukan,  karena setelah itu ada kegiatan merawat,  membesarkan dan mendewasakan.  Di tingkat mendewasakan inilah kita memandirikan.  Sebuah pekerjaan yang panjang dan berat.  Saya kira,  hanya dengan kuasa Allah,  Tuhan Yang Maha Esa,  manusia akan dapat melaksanakannya.

 

Payaman, 24 September 2018

Kang Saiful

 


By Admin
Dibuat tanggal 25-09-2018
698 Dilihat